Rusaknya lingkungan hidup & ekosistem yang ada kelak saat masuknya perusahaan-perusahaan minyak raksasa yang akan melakukan exploitasi & produksi di Kabupaten Blora harus dihindari dan dipantau secara intensif, termasuk kelestarian hutan jati yang tersisa di Kabupaten Blora harus diselamatkan, hal tersebut diatas merupakan salah satu pendorong lahirnya LSM Jatibumi, termasuk keberadaan limbah perusahaan-perusahaan minyak raksasa yang kelak akan ada di Kabupaten Blora. Selain itu LSM ini dirintis sebagai wadah bersama untuk berperan serta dalam pendampingan masyarakat yang kelak akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung dengan keberadaan MEGA PROYEK perusahaan minyak di Blora termasuk konflik-konflik horisontal & sosial yang kelak akan terjadi. Lembaga ini mempunyai tujuan sebagai wadah pengembangan kreativitas dan semangat pengabdian sosial generasi muda kepada masyarakat.

Sabtu, 19 Januari 2008

BUDIDAYA LAPANGAN MINYAK TUA Part 2

Oleh : Tejo Prabowo, ST * “sebaiknya lewat komisi B DPRD kedua Kabupaten yang membidangi ekonomi bisa membentuk “pansus sumur tua eks Kolonial Belanda”, sehingga regulasi lewat perda tersebut benar-benar bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak”. Penambang-penambang yang ada di Bojonegoro berbeda kondisinya dengan penambang sumur minyak tua di Blora, di Blora bisa dibilang lebih tertib dan hampir tidak ada black market minyak mentah/latung. Semua penambang dalam membuang/menjual hasil tambangnya terakomodasi oleh keberadaan dua Koperasi yang ditunjuk pertamina sebagai kepanjangan tangannya. Koperasi tersebut adalah Bogosasono dan Kokapraya, entah apa hubungannya kedua Koperasi tersebut dengan Pertamina. Jelasnya jika penambang terbukti menjual latung ke selain kedua koperasi diatas maka ada sangsi yang tegas berupa denda yang nilainya cukup besar. Sehingga penambang enggan untuk menjual latungnya ke pasar gelap. Sedangkan di Bojonegoro sejak ada unjuk rasa November 2006 lalu menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan penambang. Kesepakatan tersebut adalah bahwa penambang tidak harus menjual latung ke Pertamina lewat kedua Koprasi diatas, bisa ke instansi lain yang ada di Surabaya atau Tuban. Setahu penulis salah satu perusahaan yang mau membeli latung tersebut adalah CV. Cahaya Jaya Abadi, ada kabar katanya latung tersebut tidak dimasak atau disuling menjadi minyak jadi siap pakai tetapi dijual ke pabrik-pabrik kimia yang ada di Surabaya, tentang harganya tentu lebih menggiurkan dari pada latung dijual di Pertamina. Sedangkan kalau di Bojonegoro ada pos-pos tertentu yang melakukan pungli/pungutan liar di Blora juga ada, baik itu resmi yang dijual ke Pertamina sekalipun. Di Wonocolo semenjak latung muncul ke permukaan bumi maka penduduk setempat dapat dengan mudah mengambil dan menjual latung tersebut baik secara pribadi atau kelompok. Dengan kondisi tersebut maka tidak mengherankan jika muncul profesi baru di Desa-desa penghasil latung, profesi tersebut adalah “pengepul latung”. Bahkan pengepul mau memberi pinjaman modal uang atau alat terlebih dahulu ke penambang, setelah latung terkumpul biasanya 1 tangki kapasitas 5000 Liter, maka pengepul segera membawanya pergi keluar kota. Kondisi diatas menimbulkan beberapa pertanyaan yang tak terjawab, aturan yang betul itu seperti apa?, kenapa di Bojonegoro bisa menjual latung ke selain kedua Koperasi diatas sedangkan di Blora tidak bisa?. Berapa produksi latung di Blora dan di Bojonegoro tiap bulannya?, berapa jumlah sumur tua yang belum tereksploitasi di kedua Kabupaten tersebut?, berapa kedua Koperasi tersebut menjual latung ke Pertamina?, jelasnya kondisi atas harus menjadi skala prioritas yang harus dijawab, dicari tahu sebab akibat, disosialisasikan peraturannya, dan dicarikan penyelesaian yang bisa menguntungkan semua pihak baik itu penambang, Pertamina dan Pemda. Regulasi Jangan Menghambat Inovasi Kalimat diatas pernah diucapkan Presiden lewak juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng, tepatnya saat membicarakan keberadaan nutrisi saputra yang keberadaanya ditentang oleh Depertemen Pertanian. Bahkan secara tegas Jubir Kepresidenan mengatakan bahwa jangan-jangan regulasinya yang salah, maka itu perlu dikaji lagi regulasi yang sudah ada tersebut. Dalam hal membicarakan ladang sumur minyak tua jelas ada kolerasinya dengan kedua kalimat diatas, regulasi yang mengharuskan latung dijual ke Pertamina lewat kedua koperasi diatas harus dikaji ulang. Kenapa harus lewat koperasi diatas?, kenapa latung harus dibeli koperasi dengan harga yang sangat rendah? Rp. 290;/Liter?, bahkan lebih murah dari air minum kemasan. Sedangkan transparansi berapa pihak koperasi menjual latung ke Pertamina sampai saat ini tidak ada yang tahu. Heran rasanya dijaman sekarang masih ada monopoli seperti pola diatas, mengingatkan kita akan keberadaan BPPC ala Tommy Suharto untuk urusan cengkeh. Keberadaan koperasi bogasasono dan kokapraya tidak lebih dari benalu belaka, berlindung di balik regulasi yang tidak menguntungkan bagi Desa sekitar tambang, penambang, dan Pemda kedua Kabupaten. Regulasi diatas bentuknya entah apa dan bagaimana itu tidak penting, yang jelas regulasi tersebut harus ditinjau, dirubah, ditambah, bahkan kalau perlu diganti yang baru sekalian. Di jaman sekarang hal diatas sudah jamak alias umum, regulasi yang tidak mengakomodir kepentingan semua stock holder harus dirubah bahkan dihilangkan, idealnya regulasi ibarat jembatan yang menghubungkan kepentingan penambang, Desa sekitar tambang, Pertamina, dan Pemda.Di era Otonomi Daerah seperti sekarang ini sebenarnya Pemda bisa memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengelolaan sumur tua, yaitu dengan membuat Perda tentang sumur minyak tua. Sebagai embrio dari keberadaan perda diatas, sebaiknya lewat komisi B DPRD kedua Kabupaten yang membidangi ekonomi bisa membentuk “pansus sumur tua eks Kolonial Belanda”, sehingga regulasi lewat perda tersebut benar-benar bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk Pemda kedua kabupaten juga mendapatkan kontribusi yang lumayan lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD), penulis dan semua pihak tentunya berharap Pemda dan DPRD lewat komisi B kedua Kabupaten peduli dan menindak lanjuti kondisi diatas, sebelum ada gejolak dan pergerakan yang bisa menimbulkan konflik horisontal. Jika permasalahan penambangan ladang sumur tua eks Kolonial Belanda dibuatkan payung hukum yang tepat dan inovatif dalam bentuk perda, sebenarnya hal tersebut bisa meningkatkan PAD masing-masing Kabupaten. Perputaran uang di sektor yang satu ini tidaklah sedikit, ada kabar bahwa satu titik sumur di Ledok kapasitasnya bisa satu tangki/Hari atau 5000 L/Hari, jika ada payung hukumnya bukan tidak mungkin Pemda bisa menarik retribusi tiap liternya. Hal tersebut tentu harus dibicarakan dengan pihak-pihak terkait, terutama pihak Pertamina sebagai pembeli latung.Selain itu monopoli yang selama ini dilakukan kedua koperasi yang ditunjuk Pertamina kalau perlu dihilangkan, sehingga bisa menciptakan harga yang sedikit kompetitif, penambang bisa menjual latung langsung ke Pertamina tanpa lewat koperasi atau ke perusahaan lain yang mau membelinya, pungli yang selama ini membudaya juga harus disikat dan dibersihkan, syukur-syukur warga Desa sekitar sumur tua mendapat pelatihan dan pinjaman modal bunga lunak, sehingga bisa mengurangi banyaknya angka pengangguran dan urbanisasi di Desa-desa pinggiran hutan. Semoga...(Tamat) *) Penulis adalah : Direktur EksekutifLSM JATIBUMI BloraHP (081325278490), Mobile(08886420540)e-mail : jati_bumi_blora@yahoo.co.id

BUDIDAYA LAPANGAN MINYAK TUA

Oleh : Tejo Prabowo, ST *“tenaga penarik tambang yang menimba latung (minyak mentah) sedalam 200 meter adalah tenaga manusia, setiap satu rit dia berjalan sejauh 400 meter. Padahal dalam satu hari bisa sebanyak 100 rit, berarti manusia penarik tambang tersebut tiap harinya berjalan sejauh 40 Km, bahkan ada yang berjalan sejauh 60 Km tiap harinya, jarak antara kota Purwodadi-Blora”Usaha keras Pemkab Blora dan Bojonegoro untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) selama ini perlu mendapatkan sebuah inovasi yang baru dan cerdas, karena berbagai daya upaya yang selama ini sudah diusahakan belum mampu mendongkrak PAD ke-dua Kabupaten yang identik dengan kota minyak selama ini. Buruknya kondisi perekonomian di kedua Kabupaten saat ini dibayang-bayangi oleh beberapa kendala yang identik melekat pada sebagian besar Kabupaten miskin, yaitu dialami oleh saudara-saudara petani. Pendapatan perkapita yang rendah dialami oleh semua petani yang jumlahnya hampir mencapai 400 Ribu jiwa (lebih dari 50% total penduduk Blora) untuk Kabupaten Blora, dibandingkan dengan jumlah penduduk Blora secara keseluruhan (865.725 jiwa) angka diatas menunjukkan bahwa pertanian adalah mata pencaharian mayoritas bagi rakyat Blora, hal yang sama juga terjadi di Kabupaten tetangga Bojonegoro. Sedangkan sektor industri belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan, karena kebanyakan industri kecil dan menengah tradisional hanya mengandalkan bahan baku berupa kayu, tanah liat, bebatuan dan pasir. Selain itu kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang rendah juga memperparah buruknya kondisi perekonomian di kedua Kabupaten penghasil kayu jati terbaik di dunia tersebut. Sebuah study kasus jika Pemkab Blora memberi peluang pada investor untuk mengeksploitasi kekayaan alam non migas berupa batu hitam, pasir kwarsa, batu gamping, kalsium, pasir hitam sungai Bengawansolo dan lain-lain, Fakta dilapangan menunjukkan bukan keuntungan yang diraup tapi malah kerugian yang didapat. Hal tersebut bisa terjadi karena rusaknya sarana atau infrastruktur jalan sepanjang daerah eksploitasi yang biaya perawatan dan pembangunannya dibebankan pada APBD. Biaya pembangunan dan perawatan jalan sepanjang daerah eksploitasi bisa menghabiskan dana ratusan juta rupiah tiap tahunnya, sedangkan retribusi dari investor yang masuk kas daerah melaui PAD nilainya tidak lebih dari 30 juta. Dengan dasar pemikiran itulah penulis menyimpulkan bahwa eksploitasi kekayaan alam non migas di Blora tidak akan bisa mensejahterakan rakyat Blora.Maskot yang selama ini disandang oleh kota Blora dan Bojonegoro sebagai “Kota Jati”-pun hilang sudah. Produsen kayu jati berkualitas nomer satu didunia masih disandang oleh Kabupaten Blora, akan tetapi kwantitasnya sudah sangat menurun. Diawali penjarahan kayu jati besar-besaran di era reformasi tahun 1997 sampai dengan tahun 2001, jumlah pohon jati kualitas nomer satu didunia terus menerus turun bahkan sampai saat ini. Di pelosok hutan manapun di Blora sudah sangat sulit menemukan pohon jati diatas diameter 80 centimeter dalam jumlah banyak. Butuh waktu 25 tahun lagi bagi hutan jati Blora untuk bisa menghasilkan kualitas kayu terbaik di dunia dalam jumlah yang banyak. Padahal jika kita mencermati keadaan industri perkayuan jati di Blora saat ini dibandingkan indutri perkayuan jati di daerah atau Kabupaten lain, indutri perkayuan jati di Blora tidaklah terlalu besar asetnya. Dibandingkan dengan aset industri kayu jati di Kabupaten Jepara, Kudus, Klaten, Solo, Sragen dan Semarang, indutri perkayuan jati di Blora belumlah seberapa, hal tersebut bisa terjadi karena rendahnya SDM di Blora selama ini, oleh karena itu hingga saat ini kebanyakan kayu jati yang keluar dari Blora masih banyak yang berbentuk glondongan atau yang masih berbentuk bahan mentah/setengah jadi, proses produksi yang banyak menyerap tenaga kerja malah dilakukan di luar kota.Kemungkinan Pemda Blora menggandeng investor di bidang industri kayu jati untuk meningkatkan PAD-nya sangat kecil. Selain karena faktor ketersediaan kwantitas kayu jati, SDM dan Infrastukturnya tidak menunjang sama sekali. Bisa di bayangkan jika indutri kayu jati yang ada di Jepara berada di Blora, tentu habis semua hutan jati yang ada Blora. Meskipun industri kayu jati olahan berada di luar kota, pencurian kayu jati di Blora sudah segitu parahnya, apalagi jika indutri kayu jati besar-besaran berada di dalam kota?.Berpotensi meningkatkan PADSebuah solusi untuk meningkatkan PAD kedua Kabupaten tersebut adalah dengan membudidayakan/memanfaatkan keberadaan sumur tau peninggalan jaman kolonial Belanda. Sumur tua yang banyak keberadaanya di kedua Kabupaten tersebut sudah ditinggalkan oleh pertamina, karena produksinya sudah tidak menguntungkan atau tidak profit. Lain halnya jika pengelolaannya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat sekitar sumur tua tersebut. Keuntungan finansial ada didepan mata, selain bisa mengurangi angka pengangguran di desa sekitar sumur tua, peningkatan PAD juga bisa didapat kedua Kabupaten diatas jika memang benar-benar hal tersebut diupayakan. Dengan pengelolaan secara tradisional, begitu juga dengan menejemennya, kenyataan bahwa pengelola ladang sumur minyak tua yang ada di kedua Kabupaten tersebut masih tetap eksis keberadaannya. Di Blora sendiri ada sekitar 20 perusahaan/pribadi/koperasi yang masih bertahan mengelola sumur minyak tua, tersebar di sekitar desa Nglobo, Temengeng, Sambongrejo, Sambong, Nglebur dan Ledok.Di Bojonegoro cerita tentang sumur minyak tua malah ada yang lebih menarik lagi yaitu di Wonocolo, ladang sumur minyak tua di Wonocolo konon produksinya luar biasa. Bisa membuat pengelola sumur minyak tua Wonocolo yang sekaligus Kepala Desa setempat menjadi kaya raya, ketokohan dan kedermawanannya tidak diragukan lagi, ia bagaikan seorang raja kecil yang kaya dan dermawan di negeri sendiri, yaitu negeri Wonocolo. Penulis masih ingat hal tersebut ketika membaca sebuah majalah (TEMPO) terbitan sekitar tahun 1987. Cerita menarik lainnya selain keberadaan Kepala Desa tersebut adalah pengelolaannya yang benar-benar tradisional, disitu diceritakan tenaga penarik tambang yang menimba latung (minyak mentah) sedalam 200 meter adalah tenaga manusia, setiap satu rit berarti manusia perkasa penarik tambang tersebut berjalan sejauh 400 meter bolak-balik. Padahal dalam satu hari dia bisa menarik sebanyak 100 rit, berarti manusia penarik tambang tersebut tiap harinya berjalan sejauh 40 Km, bahkan ada yang berjalan sejauh 60 Km tiap harinya, jarak antara kota Purwodadi-Blora, luar biasa!. Lain dulu lain pula sekarang, saat ini setahu penulis penambang sumur minyak tua sudah menggunakan mesin, biasanya menggunakan mesin truk tua yang sengaja didongkrok-kan. Truk buatan inggris yang lazim disebut “truk pesek” bermerk Thames dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menarik tambang yang menimba latung ke permukaan. Tidak menggunakan sumur angguk seperti Pertamina dan transportasi latungnya dari lokasi sumur tua ke pertamina juga tidak lewat pipa, tapi menggunakan tranportasi truk tangki berkapasitas 5000 liter, mungkin karena hal tersebutlah penambangan diatas dianggap masih tradisional sehingga tidak dilarang dan yang lebih penting lagi adalah pertamina mau membeli latung/minyak mentah tersebut lewat koperasi.Sekitar bulan November 2006 sebuah media cetak harian nasional memberitakan keberadaan sumur minyak Wonocolo yang muncrat ke permukaan, sehingga masyarakat sekitar mengambil latung tersebut hanya dengan menggunakan gayung, di hutan dekat Desa Sogo Kecamatan Kedung Tuban ada 24 sumur tua peninggalan kolonial Belanda yang belum pernah dimanfaatkan/dieksploitasi. Begitu juga di hutan wilayah KPH Cepu dekat Dukuh Kedinding Desa Ngraho ada 17 titik sumur serupa. Lantas berapa jumlah total titik sumur tua yang ada di kedua Kabupaten?, Bagaimana teknologi dan berapa biaya investasi yang dibutuhkan untuk membuka satu titik sumur tua diatas?, apa resikonya?, bagaimana menjualnya?, berapa harganya perliter?, kenapa dijaman sekarang masih ada monopoli berkedok koperasi yang ditunjuk Pertamina untuk membeli latung hasil produksi penambang?, apa korelasinya sumur tua dengan peningkatan PAD kedua Kabupaten?, dan masih banyak persoalan lain yang masih menarik untuk kita ketahui, tapi karena keterbatasan tempat penulis membuat artikel ini menjadi beberapa edisi. Jadi tunggu sambungan-nya di edisi depan...(bersambung).*) Penulis adalah : Direktur Eksekutif LSM JATIBUMI BloraHP (081325278490), Mobile(08886420540)e-mail : jati_bumi_blora@yahoo.com

DILEMA PENYERTAAN MODAL PI BLOK CEPU

Oleh : Tejo Prabowo, ST Kesempatan yang diberikan PemKab Blora lewat BUMD PT. Blora Patragas Hulu kepada para Investor yang berminat meng-back up kebutuhan modal PT. Blora Patragas Hulu sebanyak 594 Milyar Rupiah sudah berakhir kemarin, Jum'at 24 Maret 2006. Keberadaan Investor yang akan bekerjasama dengan PemKab Blora dalam memanfaatkan peluang ikut berperan aktif dalam pengelolaan Blok Cepu seolah-olah sangat penting sekali.
Sebagaimana sudah banyak diketahui publik, BUMD Pemkab Blora yaitu PT. Blora Patragas Hulu diberi kesempatan untuk menyertakan modal bersama-sama dengan BUMD Pemkab Bojonegoro, BUMProv Jateng dan BUMProv Jatim yang tegabung dalam konsorsium 4 BUMD mendapat kesempatan untuk menyertakan modal sebanyak 10% atau senilai Rp. 2,7 Trilyun dari total kebutuhan modal untuk ekploitasi Blok Cepu hal tersebut diatas biasa disebut dengan istilah PI ( Participating Interest). Berdasarkan proporsi besarnya PI diatas Pemkab Blora mendapatkan hak untuk menanam modal sebesar 2,2% berikut Pemkab Bojonegoro sebesar 4,5%, Pemprov Jateng 1,1% dan Pemprov Jatim 2,2% dari total kebutuhan modal untuk eksploitasi Blok Cepu yang mencapai Rp. 27 Trilyun.
Investor seolah-olah menjadi dewa penyelamat bagi seluruh rakyat Blora yang akan menikmati bagi hasil dari perolehan produksi Blok Cepu yang diperkirakan berkapasitas 160.000 s/d 200.000 Barel perhari pada saat full capacity yaitu tahun 2009 kelak. Dengan bagi hasil tersebut Pemkab Bojonegoro optimis mendapatkan pemasukan bagi PAD sebanyak Rp. 1,35 Trilyun pertahun dari PAD semula yang sebesar Rp. 70 Milyar pertahun(Suara Merdeka, 20 Maret 2006), sedangkan Pemkab Blora yang PAD-nya sebesar Rp. 30 Milyar pertahun berpotensi mendapatkan tambahan sebasar Rp. 660 Milyar pertahun, optimisme tersebut tidak berlebihan karena Blok Cepu setelah Full Capacity mampu mendatangkan keuntungan minimal sebesar Rp. 30 Trilyun pertahun, dengan asumsi produksi sebesar 160.000 Barel/hari dan harga minyak 50 U$ perbarel. Padahal harga minyak mentah saat ini menyentuh kisaran 64 U$ perbarel.
Batas waktu penyertaan modal oleh BUMD masing-masing daerah adalah tanggal 13 Mei 2006, terhitung 60 hari setelah penandatanganan JOA (Join Operating Agreement) yang telah disepakati Rabo, 15 Maret 2006, sesuai dengan PP No.34 Tahun 2005, apabila konsorsium BUMD tidak menyertakan modal dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka kesempatan tersebut akan diambil kembali oleh Pertamina dan Exxon. Bagi Pemkab Blora kesempatan emas tersebut tidak boleh terlewatkan, tapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah jumlah penyertaan modal sebesar Rp. 594 Milyar tersebut Pemkab Blora tidak mampu, mengingat APBD Kabupaten Blora tahun 2005 yang cuma sebesar Rp. 352 Milyar dan APBD 2006 sekitar Rp. 550 Milyar. Untuk itulah peran Investor menjadi sangat penting dalam menyediakan modal bagi Pemkab Blora untuk bisa memanfaatkan peluang emas tersebut.
APA HARUS INVESTOR?
Sejumlah aksi yang dilakukan oleh beberapa LSM di Bojonegoro dalam menolak keberadaan Investor (Jawa Pos, 21 Maret 2006) menjadi wacana baru bagi rakyat Blora. Aksi tersebut tidaklah berlebihan jika memang Pemkab Bojonegoro optimis mendapatkan bagi hasil sebesar 1,35 Trilyun pertahun dan otomatis APBD-nya yang semula Rp. 400 Milyar menjadi Rp. 1,6 Trilyun pertahun pada tahun 2009 besok, seperti optimisme yang disampaikan oleh Kamsuni Kabag Humas Pemkab Bojonegoro(Suara Merdeka, 20 Maret 2006) lantas, pertanyaannya sekarang jika modal yang dibutuhkan adalah Rp. 1,215 Milyar kenapa mesti investor? kenapa tidak mencoba alternatif pinjam bank saja? toh ditahun 2009 Pemkab Bojonegoro sudah mampu mengembalikannya.
Hal serupa seharusnya juga menjadi pertanyaan bagi Pemkab Blora, dengan PAD sebesar Rp. 30 Milyar pertahun kelak 2009 akan mendapatkan bagi hasil perolehan keuntungan Blok Cepu sekitar Rp. 660 Milyar pertahun. Jadi kebutuhan modal yang dibutuhkan sebesar Rp. 594 Milyar dapat langsung dibayar sekaligus, atau diangsur sampai dengan tahun 2010. Jika hal tersebut dilakukan oleh Pemkab Blora maka otomatis tahun 2011 perolehan bagi hasil keuntungan PI Blok Cepu dapat 100% diterima utuh oleh rakyat Blora untuk kemakmuran rakyat Blora setelah masuk PAD dan APBD terlebih dahulu tentunya. Jadi kenapa Pemkab Blora lebih memilih mendatangkan investor daripada mencoba alternatif pinjam di Bank patut dicurigai.
Bupati Blora Ir. Basuki Widodo dalam pernyataannya dimedia cetak menjamin transparansi pemilihan investor yang akan bekerjasama dengan Pemkab Blora patut diacungi jempol. Ketersediaan dana, syarat administrasi, dan profit sharing yang menjadi prioritas utama kelak dalam memilih investor, mengundang beberapa pertanyaan baru, apalagi dengan mongadopsi sebagian Keppres No. 80 tentang penyediaan barang dan jasa. Dengan mengadopsi sebagian Keppres No. 80 dalam memilih investor, kemungkinan besar sistem tender investor yang terjadi adalah sistem tender lelang tertutup, seperti yang biasa dilakukan oleh kontraktor bangunan dalam mengikuti tender lelang bangunan di lingkungan Dinas PU. Dalam sistem tender lelang tertutup, ada 2 jenis lelang yaitu lelang fight dan lelang yang sudah dikondisikan sebelumnya. Keduanya tidah melanggar hukum dan sah-sah saja dilakukan, dalam tender fight kontraktor bersama-sama memasukkan penawaran terendah mereka tanpa saling mengetahui besar kecilnya penawaran kontraktor lain, setelah dokumen dibuka maka penawaran terendahlah yang memenangkan tender. Sedangkan lelang yang sudah dikondisikan, kontraktor bersama-sama memasukkan penawaran, akan tetapi masing-masing kontraktor saling mengetahui isi penawaran kontraktor lain. Meskipun tetap penawaran terendah yang memenangkan tender, akan tetapi karena terjadi kolusi terlebih dahulu sebelum memasukkan penawaran, cara seperti ini cenderung merugikan owner sebagai pemakai jasa, karena semua kontraktor yang sudah dikondisikan dan kalah tetap menerima keuntungan atau biasa disebut fee rekanan dari pemenang lelang berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Bukankah cara ini juga bisa dilakukan oleh para investor dalam mengikuti tender?
Jadi apapun cara lelangnya, bagaimanapun kriterianya dan siapapun investornya sebenarnya tidaklah terlalu penting, karena masih ada alternatif yang lebih baik bagi Pemkab Blora untuk mendapatkan modalnya sebelum tanggal 13 Mei 2006. Yaitu dengan pinjam kredit dari Bank, baik Bank lokal, Bank Pemerintah ataupun Bank campuran. Batas waktu untuk melakukan lobi pinjam kredit dari Bank-pun masih terbuka, semoga para elit politik di Blora tidak salah dalam menentukan pilihan, minyak bumi & gas alam yang ada di Blora, harus bisa mensejahterakan rakyat Blora.